Rabu, 23 Juni 2010

Tulus dan Fulus

Tulus dan Fulus

Hidup adalah lembaran buku yang bisa dihikmahi, dan hidup adalah sepotong perjalanan untuk mengenali diri dan lingkungan.
Dunia memang mengalami perubahan dan perkembangan, manusia tidak bisa dilepaskan dari hakekat penciptaan yang memmpunyai nurani dan akal. Arahnya bisa pada hal positif dan negative. Sepenggal perjalanan dari kreasi manusia ternyata melahirkan pengkotakan dan ego untuk menunjukkan siapa yang terbaik dan berkuasa. Padahal nilai dan akal yang ditanamkan dalam diri manusia hanya sebuah titipan berjangka, itu hanya sebuah titipan tak lebih dari itu. Apapun agama dan budaya serta sukunya manusia tetap mempunyai rasa kemanusiaan, dan rasa itu kadangkala dikalahkan oleh kondisi dari pikiran itu sendiri. Renungan lingkungan adalah mata untuk bisa melihat lebih jauh tentang hakekat hidup.
Akhir-akhir ini reality show begitu marak ditayangkan, sebuah hikmah dapat dipetik bagi pencari nilai kemanusian yang masih haus dengan makna. Dalam tayangan sebuah TV Swasta Realitu Show yang dinamakan "TOLONG" bisa memaknai perjalanan jiwa kita. Tidak usah bersusahpayah mendalami ilmu teoritis semacam sufiestis sebagai pencarian bagi jiwa yang hampa. Makna yang tersirat begitu mendalam, rasa kemanusia ternyata dapat dilihat dari rasa kemanusiaan itu sendiri yang berasal dari jiwa yang tulus. Jiwa tulus itu ternyata banyak dimiliki oleh mereka yang dikorbankan oleh keadaan dan nasib. Dalam tayangan beberapa episode ketulusan itu justru diberikan oleh rakyat yang papa dan mempunyai kecacatan fisik. Episode beberapa minggu yang lalu, dilatarbelakangi oleh seorang nenek yang tidak mempunyai uang untuk membeli minyak tanah dan mengalami kerusakan pada kompornya yang usang. Dalam pencarian untuk mendapatkan belaskasih dan pertolongan, nenek itu terus berjalan dan menghampiri orang-orang yang dinilainya bisa menolongnya. Namun dari beberapa upaya yang dilakukannya sang nenek belum berhasil mendapatkan belas kasih. Padahal sang nenek meminta pertolongan pada orang yang terlihatnya cukup mampu secara ekonomi dan fisik. Pada pencarian terakhir sang nenek bertemu dengan seorang bapak
penjual minyak tanah yang mengalami cacat. Bapak tersebut berjualan dengan merakit sebuah sepeda agar bisa memobilitas dirinya yang cacat pada kakinya sehingga tidak bisa berjalan seperti orang normal. Yang bisa dilakukan oleh bapak tersebut hanya mengandalkan kekuatan kedua tangannya untuk tetap mengayun pedal sepeda agar bisa terus berjalan untuk menghampiri pelanggaan agar membeli minyak tanah yang dijualnya. Ternyata dengan senyum ketulusan Sang Bapak dengan rela memperbaiki kompor si nenek tua, sekaligus memberikan minyak tanah agar si Nenek bisa memasak kembali dirumahnya.
Begitu juga dengan episode lainnya, yang hampir kebanyakan ketulusan itu justru disalurkan dari manusia papa dan lemah. Dalam realitas keseharian ketulusan juga sering terjadi pada saat kita berdesakan dalam bis Kota, kehidupan Jakarta yang acapkali dimaknai dengan kekerasan ternyata masih menyisahkan ketulusan didalamnya. Sebuah pengalaman berharga acapkali diperlihatkan oleh pedagang asongan dan pengamen jalanan. Dengan penuh pengertian mereka saling memahami bahwa nilai uang seratus rupiah begitu berharga. Kejadian yang sering terjadi tatakala pengamen ataupun pedagang asong menjajakan suara dan jualannya di atas Bis. Dengan bersusah payah mereka mengejar bis yang terus melaju. Namun setelah mereka berhasil tiba diatas bis dan kebetulan ada pengamen lain yang sedang menjual suaranya dengan tulus mereka mempersilahkan sejawatnya untuk bernyanyi, begitu juga dengan pedang asongan ketika pengamen bernyanyi dengan tulusnya mereka menunggu giliran untuk menawarkan dagangan. Begitu juga ketika pedagan asongan menawarkan muhaemien.blogspot.com dagangannya maka pedagang asongan dan pengamen lainnya menunggu sampai pedagang pertama selesai. Kejadian itu terus berulang layaknya hukum alam yang sudah teroganisir. Dari sepenggal drama kehidupan yang dilakoni oleh manusia papa dan pinggiran seharusnya bisa meresap dalam nurani kita bahwa kebahagiaan itu lahir tatkala orang lain juga bahagia. Akhir-akhir itu perubahan social dan perilaku manusia kota mulai bergeser, banyak dari mereka yang mulai mencari perenungan diri untuk mendapatkan kebahagiaan seperti apa yang didapatkan oleh masyarakat miskin dan papa. Memang secara fisik banyak dari kita kelihatan
miskin, dari segi kejiwaaan justru merekalah yang banyak merasakan arti dan nilai kehidupan dan kemanusiaan itu. Tanpa beban mereka bisa tidur dengan hanya beralaskan Koran ditaman kota, tanpa beban mereka berdesakan dengan penumpang lainya diatas bus kota. Sedangkan kita yang merasa dirinya sebagai manusia modern dan penuh arti, akan gundah tatkala taksi tidak ada, mobil pribadi lagi digunakan orang lain, baterai HP Down, dan seabrek tetetk bengek yang justru membuat bingung diri sendiri. Apa yang kita keluarkan acapkali bersingungan dengan hukum ekonomi; Untung – Rugi, akibatnya menyodorkan uang seratus rupiah kepada pengemis jalanan ibarat mendaki gedung berlantai sepuluh. Tatkala bencana tiba, banyak dari kita juga terketuk hatinya untuk membantu, dibalik itupun ada keinginan agar kita dikenal sebagai darmawan. Media massa dan elektronik mengeksplotir bencana tersebut sebagai spot dan hot news dengan nilai iklan yang tinggi. Perusahaan berlomba mencitrakan dirinya menjadi lingkungan dengan konsep Coorporate Social Responsibility (CSR) dadakan. Semua berlomba untuk menunjukkan bahwa nurani kemanusiaan itu masih ada. Ketulusan adalah sebuah proses dan sangat sulit untuk dipaksakan, ketulusan lahir dari pengalaman yang panjang dan acapkali berlangsung continyu. Ketulusan adalah sebuah nilai yang tak bisa dihargai dengan sanjungan dan materi. Ketulusan ibaratnya Ibadah Puasa yang hanya bisa diketahui oleh diri sendiri dan maha kuasa. Ketulusan tidak menghasilkan fulus, namun ketulusan akan menghasilkan rakhmat dan rezeki atas sikap dan prilaku sebelumnya. Rakhmat dan Rezeki tersebut merupakan jawaban atas apa yang kita perbuat. Karenanya jika kita mengerjakan sesuatu dan sudah memikirkan keuntungan maupun fulus yang akan didapatkan, maka yang kita kerjakan lebih bernilai proyek….Tulus dalam perbuatan adalah kerelaan untuk tidak mengharapkan balasan dari apa yang kita perbuat. Ibarat air yang mengalir, air tersebut terus mengalir mencari tempat terendah tanpa ingin berbalik mencari tempat yang lebih tinggi. Semua mengalir lepas layaknya hukum alam yang justru sangat layak untuk dimaknai dalam menjalani hidup ini. Kebahagiaan akan muncul tatkala ketulusan sebagai dasarnya, untuk menyelaminya maka salami dirimu, Maka kehidupan ini akan penuh hakekat dan makna.

Jakarta, 20.01.05
Arif Hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar